Jakarta, Pakuan Pos – Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU Perlindungan PRT) belum juga disahkan setelah melewati masa 17 tahun pembahasan di lembaga legislatif.

Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher meminta DPR dan pemerintah menyegerakan pengesahan RUU PPRT ini mengingat negara harus memberikan perlindungan dan keadilan dalam lingkup profesi PRT.

“Pekerja rumah tangga kerap diperlakukan tidak adil, hak-haknya tidak terjamin, bahkan tidak sedikit yang menjadi korban kekerasan karena dianggap sebagai pekerja informal kelas dua. Negara harus menjamin perlindungan hak, menghadirkan keadilan, serta menghapus diskriminasi dan kekerasan yang dialami PRT,” kata Netty dalam keterangan media, Rabu, 18/08/21.

Menurut Netty, Hari Kemerdekaan harus dijadikan momentum menunjukkan kesungguhan dalam memperjuangkan hak-hak rakyat kecil agar mereka pun dapat merasakan hakikat merdeka.

“Hakikat merdeka adalah negara mampu membebaskan rakyat dari segala bentuk pembodohan, pemiskinan, dan ketidakadilan. Setiap rakyat berhak memiliki akses dan jaminan untuk menjadi cerdas, sejahtera, dan diperlakukan adil dalam profesi yang dijalaninya sepanjang tidak melawan hukum,” ujarnya.

Oleh karena itu, Netty pada peringatan 17 Agustus di DPP PKS yang ditandai dengan peluncuran program Tebar 1,7 Paket Sembako menegaskan dukungan PKS terhadap pengesahan RUU PPRT.

“PKS menjadi fraksi pertama di DPR RI pada awal periode 2019 yang memberi ruang pada JALA PRT sebagai jaringan lembaga yang mengedukasi para pekerja rumah tangga untuk menyampaikan aspirasinya dan memberikan dukungan pada pengesahan RUU PPRT. Mari jadikan peringatan kemerdekaan sebagai momentum mendorong lahirnya kebijakan inklusi bagi PRT,” katanya.

Selain itu, Netty juga menunjukkan keberpihakan PKS kepada para PRT dengan menyambangi Operata Sedap Malam, organisasi PRT di bilangan Tebet Barat dan memberikan tanda kasih dalam bentuk paket sembako.

Siswati, Ketua Operata Sedap Malam, menyampaikan bahwa ada banyak pemberi kerja yang melarang PRT ikut organisasi.

“Anggota Operata Sedap Malam pernah mencapai 200-an, namun sekarang jauh berkurang. Pemberi kerja melarang PRT-nya ikut organisasi karena khawatir jadi cerdas dan tahu hak-haknya,” ujar Siswati.

Padahal, kata Siswati, organisasi memberikan edukasi agar PRT mampu bernegosiasi dengan pemberi kerja, bukan untuk membangkang. “Kami dan pemberi kerja sama-sama memiliki kebutuhan. Nah, bagaimana agar hubungan kerja ini adil dan tidak merugikan. Kami berharap ada kontrak kerja dengan tugas dan hak pembayaran yang jelas, yang tentunya disesuaikan dengan kondisi. Yang penting ada kerelaan dari dua pihak,” ujarnya.

Terakhir, Netty mengingatkan pemerintah bahwa para PRT tidak memerlukan metafora berlebihan tentang pandemi, namun perlu bukti sebagai solusi.

“Dalam masa pandemi ini ada banyak PRT yang diberhentikan oleh pemberi kerja. Apakah ini tercatat dalam statistik PHK dan pengangguran? Apakah mereka mendapat perlindungan sosial berupa bantuan pekerja dan akses kartu pra kerja? Mereka, para PRT tidak membutuhkan metafora berlebihan tentang pandemi, hanya dukungan, perlindungan dan jaminan hidup layak sebagai bukti nyata atas solusi persoalan mereka,” tutup Netty. (Aly)