Pakuan Pos – Bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan nusantara yang memiliki laut terluas, jumlah pulau terbanyak, dan pantai terpanjang kedua di dunia, patut disadari, disyukuri, dan dikelola sebaik-baiknya oleh segenap bangsa Indonesia, penetapan Indonesia sebagai negara kepulauan nusantara yang diawali dengan diumumkannya “Deklarasi Djoeanda” pada tanggal 13 Desember 1957 sampai dengan ditetapkannya Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (UNCLOS) 1982 yang mengakui prinsip-prinsip negara kepulauan nusantara (archipelagic principles) dan menimbang 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, serta Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647); Maka sehubungan dengan hal tersebut Negara menetapkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nasional, dengan sebutan Hari Nusantara. Di tetapkan di Jakarta pada 11 Desember 2001 dengan Keputusan Presiden Nomor 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara.

Hari ini 61 tahun yang lalu, tepatnya pada 13 Desember 1957, sebuah deklarasi dilakukan. Adapun yang menjadi inisiator adalah Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja. Djuanda menganggap perlunya mengubah sistem ketatalautan Indonesia untuk mengubah zona teritorialnya. Dalam deklarasi ini, Djuanda memberikan informasi kepada negara luar bahwa wilayah laut sekitar yang berada dalam wilayah kepulauan Indonesia menjadi wilayah kesatuan dan kedaulatan NKRI.

Penulis Aswab Nanda Pratama dalam artikel “Deklarasi Juanda Jadi Titik Balik Kelautan Indonesia”, editor Bayu Galih (kompas.com/read/2018/12/13/10262121/13) menyebut, Sebuah penandatanganan deklarasi oleh PM Djuanda merupakan gebrakan dalam aspek laut. Sebelum deklarasi ini, wilayah batas laut Indonesia mengacu pada peraturan masa Hindia Belanda yakni, Teritoriale Zee en en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan itu, pulau-pulau yang ada di Indonesia sejauh 3 mil dari garis pantai. Oleh sebab itu, kapal-kapal asing/negara laun tak boleh mengambil sumber daya atau lewat dalam jarak ini. Deklarasi Djuanda kemudian menyebutkan mengenai batas laut teritorial wilayah Indonesia menjadi 12 mil yang diukur dari garis pantai. Dilansir dari Harian Kompas terbitan 23 November 1974, hal yang dilakukan oleh Djuanda merupakan kebijakan yang luar biasa dalam hukum laut. Tentunya, langkah ini mendapatkan teguran dari berbagai negara luar karena hukum internasional hanya mengakui batas teritorial sejauh 3 mil sama dengan peraturan ketika Hindia Belanda. Namun, Pemerintah Indonesia tetap bersikukuh untuk memperjuangkan apa yang telah dikeluarkan. Tiga tahun sesudah deklarasi itu, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 4/Prp 1960 mengenai batas laut teritorial yang dirumuskan pada Pasal 1 Ayat 2.

Landasan Geopolitik Berbangsa Dan Bernegara
Landasan Kontinen yang mempertegas batas wilayah laut adalah dedikasi wilayah teritprial bangsa Indonesia atas Aspek Astagatra yang menjadi spirit dan cara pandang dalam berbangsa dan bernegara, mengacu pada nilai nilai wawasan Nusantara dan Kenusantaraan Negara Bangsa. Sembilan tahun sesudah lahirnya UU mengenai perairan Indonesia, pemerintah mengeluarkan pengumuman tentang “Landasan Kontinen Indonesia” pada 17 Februari 1969. Pengumuman itu menegaskan bahwa sumber kekayaan dalam landas kontinen Indonesia adalah milik eksklusif negara Indonesia. Setelah saat itu, perjanjian telah diadakan dengan Malaysia, Thailand, Australia dan Singapura mengenai batas-batas wilayah lautnya, sehingga wajar dan sudah menjadi keharusan ketika Indonesia mewujudkan diri menjadi Poros Maritim dunia

Aspek astagatra trigatra dan pancagatra dalam wawasan nusantara, merupakan suatu konsep di dalam cara pandang dan pengaturan yang mencakup segenap kehidupan bangsa yang dinamakan Astagatra, yang meliputi aspek sosial Pancagatra dan Trigatra. Urip Haryanto ketua umum Presidium Poros Nusantara dalam artikel “Kita Masyarakat Kesatuan Budaya Nusantara” pakuanpos.com/2021/12 dan “aspek astagatra” djavapos.com/2021/12 mengulas Trigatra, meliputi posisi dan lokasi geografis negara, keadaan dan kekayaan alam, keadaan dan kemampuan penduduk. Pancagatra “aspek sosial kemasyarakatan” Pancagatra merupakan aspek sosial kemasyarakatan, terdiri dari Ideologi – Politik – Ekonomi Sosial Budaya dan Pertahanan Keamanan, ipoleksosbudhankam. Dalam hubungan “Astagatra – Trigatra – Pancagatra” Antara Gatra yang satu dengan yang lain nya, terdapat hubungan bersifat timbal balik, dengan hubungan yang erat, yang saling interdependensi.

Dalam makna aspek Astagatra – Trigatra dan Pancagatra, walhasil, Nusantara dan Kenusantaraan adalah Spirit dan Cara Pandang dalam Berbangsa Dan Bernegara. Sehingga Landasan Kontinen Indonesia hubungan nya dengan Aspek ASTAGATRA adalah Landasan utama Geopolitik Nusantara yang telah melahirkan Indonesia sebagai Negara kongkret berdaulat, berdikari dan berkepribadian.

Oleh; Presidium Poros Nusantara