89 65 66 32 80 101 114 100 97 110 97 32 77 101 110 116 101 114 105 44 32 68 97 116 111 226 128 153 32 83 101 114 105 32 65 110 119 97 114 32 73 98 114 97 104 105 109 32 109 101 110 121 97 109 112 97 105 107 97 110 32 117 99 97 112 97 110 32 112 97 100 97 32 77 97 106 108 105 115 32 67 101 114 97 109 97 104 32 85 109 117 109 32 98 101 114 107 97 105 116 97 110 32 72 117 98 117 110 103 97 110 32 83 116 114 97 116 101 103 105 107 32 77 97 108 97 121 115 105 97 32 73 110 100 111 110 101 115 105 97 32 100 105 32

 

(Dr. Syahganda Nainggolan, Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia/KAMI)

Pakuan Pos – Dato’ Seri Anwar Ibrahim (DSAI) memberikan ceramah memukau di hadapan ratusan tokoh-tokoh yang menyesaki ruangan auditorium Bank Mega, Jakarta tadi siang. Ceramah itu bertemakan “Leadership”, diorganisir oleh Chairul Tanjung atau CT-Corp. Saya bersama pimpinan KAMI, Gatot Nurmantyo, Professor Hafid Abas, MS Ka’ban, Bachtiar Chamsyah dan Jumhur Hidayat, mendapat kesempatan yang amat berharga atas undangan CT Corp.

Mengapa DSAI memukau? Pertanyaan ini menjadi pembahasan teman-teman KAMI. Kita akan menguraikan dua hal besar, yakni sosok DSAI dan pikirannya. Sosok ini terlihat dalam gaya orasinya di podium. Dia benar-benar singa podium. Matanya tajam seperti singa. Menatap seluruh sudut audiens yang hadir. Bicaranya lugas dan detail, tidak membiarkan audiens menerka-nerka makna. Dia berusaha pula membuat bahasa yang kurang dikenal di Malaysia, seperti “oligarki” atau “konglomerat” di Indonesia, terpahami.

Audiens ditarik oleh DSAI untuk berinteraksi dengan dirinya, seakan-akan dia tidak berjarak, dia berbicara tentang manusia dan nilai-nilai. Dia juga berbicara tentang dirinya, kehidupan pribadinya, cita-citanya berdasarkan pengalaman hidup yang penuh liku.

Lalu bagaimana pikiran DSAI? DSAI berbicara tentang 3 hal, yakni Islam, demokrasi dan keadilan, yang terkait dengan tema kepemimpinan. Dia mengutip banyak tokoh dan pemikir Islam, seperti Sayyidina Ali, Ibnu Rusdi, Al Ghazali, dll, juga mengutip Qur’an Surah As-Shaff, dan hadist tentang kepemimpinan. Dari sini terlihat bahwa DSAI menghubungkan seluruh pemikiran dia pada nilai-nilai Islam. Bahkan, ketika menyinggung sikap optimisme yang selalu dia miliki, harus terkait pula dengan Tuhan YME.

Kepemimpinan menurutnya harus dipertanggung jawabkan di dunia dan di akhirat. Ini sesuai dengan Hadist Nabi, “Kamu itu adalah pemimpin di muka bumi, tapi akan dipertanggung jawabkan kelak di akhirat”. Pemimpin harus menjadi teladan. Tidak boleh seorang pemimpin menjanjikan sesuatu, tapi tidak melakukannya. Dia meyakini bahwa seluruh masalah suatu bangsa, solusinya di mulai dari seorang pemimpin. Oleh karenanya, kita harus menemukan sosok pemimpin yang baik.

Dalam melihat Islam, sebagai sebuah ajaran, DSAI mendorong isu “critical thinking”. Umat Islam tidak boleh terjebak dalam taqlik buta. Akal yang diberikan Tuhan harus digunakan supaya manusia tidak salah menafsirkan ajaran agama. Inilah keluasan pikiran DSAI ketika melihat seputar kontroversi pemikiran Ibnu Rusd versus Al-Gahzali, tentang “Incoherence of Philosophy”.

Kita masuk pada isu demokrasi. Islam menurut DSAI harus percaya pada demokrasi. Pemimpin, misalnya, harus mendengar suara orang-orang disekitarnya. Juga harus menyerap aspirasi dan keinginan rakyat. Menjadi pemimpin harus mengikuti proses yang benar. Dia merujuk pikiran Fukuyama tentang “Democratic Accountability”, yang mengingatkan jangan melakukan pemilu secara curang. Kalau sudah berkuasa harus “delivery”. Maksudnya, dalam istilah Anwar, sesuaikan perkataan dengan perbuatan.

Demokrasi menurut DSAI juga harus mempertimbangkan keadilan hak-hak kaum minoritas. Meskipun Islam mengajarkan ukhuwah Islamiyah, Islam menurutnya juga harus melingkupi “ukhuwah insaniyah”, atau persaudaraan sesama manusia. Intinya seorang pemimpinnya itu harus berpikir tentang keadilan untuk semua. Hal ini dirujuk DSAI pada kasus penunjukan Gubernur Mesir di era Khalifah Ali Bin Abi Thalib, di mana Kalifah memerintah Gubernur Mesir berbuat adil tanpa melihat perbedaan agama rakyatnya.

Mengapa DSAI begitu kental berbicara demokrasi? Tentu saja hal itu tak lepas dari sejarah penderitaan panjang DSAI, yang hidup dari penjara ke penjara. Dia mengungkapkan bahwa 10 tahun dia di penjara, telah mengajarkan dia tentang makna kebebasan. “Freedom” sepertinya sudah terpatri dalam kalbunya.

Kita sekarang melihat bagaimana DSAI memandang keadilan. Menurut DSAI, hidup ini tidak bermakna jika tidak bermanfaat untuk orang-orang miskin. Pemihakan pada orang miskin bersifat universal. Ketika dia mengungkapkan pembicaraannya dengan Jokowi, tentang tenaga kerja Indonesia (TKI), yang masih kurang sejahtera, DSAI berjanji pada Jokowi bahwa kesejahteraan TKI akan berubah lebih baik di era dia, yang belum pernah terjadi di era pemerintahan Malaysia sebelum ini. Janji ini dia sampaikan bukan karena TKI itu orang Indonesia, tapi lebih karena masalah “humanity”. Datuk Anwar sensitif pada nasib orang miskin. Bahkan dia mengatakan, penderitaan yang dialaminya di penjara, tidak bermakna jika dibandingkan dengan penderitaan rakyat.

Selanjutnya DSAI melihat bahwa negara harus meletakkan fungsi “kapital” untuk kepentingan sosial. Katanya, “kapital” penting untuk menjalankan roda pembangunan sebuah negara. Namun, menurutnya nasib rakyat jauh lebih penting. Oleh karenanya, pemimpin beserta seluruh “stake holders” bangsa harus bersinergi untuk mensejahterakan rakyat. Akumulasi kapital tidak boleh hanya menguntungkan segelintir orang saja.

Berbicara tentang kemiskinan, DSAI mengingatkan kita untuk tidak melihatnya dari hanya sisi statistik
saja. Kemiskinan itu seharusnya dimaknai sebagai ancaman kemanusiaan, sekecil apapun keberadaannya.

Pemberantasan kemiskinan harus dimulai dengan peningkatan kualitas pendidikan. Pendidikan yang dimaksud jangan terjebak pada “Barbarian Specialization”, di mana spesialisasi dicapai melalui pengorbanan sisi humanity dan moralitas. Harus ada keseimbangan diantara keduanya.

*Penutup*

Dato’ Seri Anwar Ibrahim telah memberi pencerahan luar biasa pada tokoh-tokoh Indonesia yang hadir. Ketika seluruh dunia dihantui oleh kegelisahan dan kegamangan dalam menghadapi ketidakpastian global, DSAI menyebarkan sikap optimisme yang berbasis pada nilai-nilai agama dan tanggung jawab kemanusiaan. Seorang pemimpin harus bekerja untuk memaksimalkan seluruh potensi yang ada untuk kesejahteraan rakyat. Keadilan sosial harus menjadi kata kuncinya.

Menjadi pemimpin harus dicapai melalui cara-cara yang beradab. Setelah menjadi pemimpin harus pula menepati janjinya, merujuk pada “Democratic Accountability” Fukuyama.

Bagi Bangsa Indonesia yang akan memilih pemimpin (presiden dan legislatif) dalam waktu yang tidak lama lagi, sewajarnya dapat menjadikan pikiran-pikiran DSAI ini sebagai bahan renungan.