Bogor, Pakuan pos – Hasrat menggebu-gebu Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor untuk ‘berhutang’ demi pembangunan infrastruktur melalui program obligasi, BJB Indah atau menggandeng perusahaan pembiayaan PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI), terus menuai sorotan berbagai pihak, tak terkecuali dari KAHMI Bogor.

KAHMI menilai bahwa sebaiknya pemerintah berpikir ulang dan tidak memaksakan untuk menerapkan kebijakan tersebut. Sebab, ada resiko yang akan didapat dari penggunaan obligasi daerah. “Kasus default obligasi daerah di negara lain kerap terjadi. Misalnya resiko akibat tingginya moral hazard dan angka korupsi di daerah yang dapat berakibat pada kegagalan investasi, sehingga berujung pada kegagalan pembayaran obligasi,” ujar Pengurus Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah Majelis Daerah KAHMI Bogor, Dwi Arsywendo kepada wartawan, Rabu (4/12).

Selain itu, ia menilai bahwa penggunaan obligasi daerah bagi Kota Bogor belum mendesak lantaran masih tingginya angka SILPA yang terjadi setiap tahunnya. Selain itu, untuk pembayaran bunga obligasi yang biasanya mencapai lima persen perbulan dari harga beli juga bakal memberatkan pemerintah.

“APBD Kota Bogor itu kan hanya Rp2,5 triliun, dan defisit anggaran pun kerap terjadi. Ini bakal jadi beban baru bagi daerah,” ucap Dwi.

Dwi juga berpendapat bahwa dalam penerapan kebijakan obligasi tidaklah mudah. Sebab, kemampuan inovasi di daerah, kesiapan kelembagaan dan SDM kerap menjadi kendala. “Memang saat ini obligasi sedang menjadi tren. Tetapi pemerintah harus memikirkan juga kemampuan anggaran apakah memadai atau tidak,” ucapnya.

Dwi menambahkan, Kabupaten Bogor yang besaran APBD-nya di atas Kota Bogor pun tidak berkeinginan untuk menerapkan kebijakan itu. Obligasi, sambung dia, secara politis juga akan membebankan kepala daerah yang akan datang. “Lebih baik matangkan saja perencanaan pembangunan agar hasilnya maksimal dan tak menjadi SILPA. Jangan dibiasakan berhutang,” urainya.

Sebelumnya, Sekretaris Daerah Kota Bogor, Ade Sarip Hidayat mengatakan, regulasi itu penting untuk dibuat, terkait nantinya akan dijalankan atau tidak. Yang terpenting payung hukum kebijakan itu sudah terbentuk. “kalau sudah ada perda mau dilakukan dan tidak ya tak masalah,” katanya.

Ade menjelaskan bahwa Kota Bogor membutuhkan soal aturan alternatif pembiayaan. “Kalau mau buat obligasi, tuntutan dari pemerintah pusat harus dibuat perdanya. Secara pribadi saya menilai memang perlu adanya kajian secara benar tentang itu,” ucapnya.

Kata Ade, sejauh ini ada tiga alternatif pembiayaan pembangunan. Yakni, obligasi, BJB Indah dan menggandeng PT. Sarana Multi Infrastruktur (Persero) yang bergerak di bidang pembiayaan infrastuktur. “Ya, ketiganya memang berujung hutang. Soal berapa bunganya nanti tim akan mengkerucutkan,” katanya.

Yang terpenting, sambung Ade, pemerintah mendapatkan keuntungan apabila menggunakan satu dari tiga alternatif tersebut. “Obligasi itu salah satu alternatif. Di pusat sudah dibahas juga ,yang penting menguntungkan pemerintah. Kalau bunga PT. SMI lebih murah, ya tak apa,” jelasnya.

Ade menambahkan bahwa saat ini pemerintah berhasrat untuk membangun RSUD tipe C dan sarana olahraga di tiap kecamatan. “Ya, rencanaya untuk membangun RSUD tipe C dan sarana olaharaga,” ungkapnya. (FK)