Pakuan pos – Saya anak seorang Purnawirawan TNI AD berpangkat Perwira Menengah yang terakhir bertugas di sebuah kesatuan Kota Bogor. Kakek saya pun seorang Purnawirawan TNI AD berpangkat Perwira Senior di Batalion Bukit Barisan, Sumatera Utara.

Saya tumbuh besar di Desa Cigombong, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, persis di depan pintu gerbang taman rekreasi Lido Desa Wates Jaya yang digadang – gadang akan dibangun menjadi kawasan wisata Dysneyland terbesar di kawasan Asia Tenggara, oleh PT MNC Group milik pengusaha dan politisi partai besar di Indonesia, Hary Tanu Sudidbyo.

Sebagai putra daerah, saya sangat mendukung adanya pengembangan pembangunan di wilayah kami, dengan harapan dapat meningkatkan taraf ekonomi masyarakat sekitar, serta memberikan manfaat positif lainya. Karena selama hampir sepuluh tahun terakhir ini Cigombong terlelap, mati suri tanpa perkembangan yang signifikan.

Namun, satu hal yang mengusik hati dan merobek perasaan saya sabagai anak bangsa dan anak pejuang, ketika menyaksikan bangunan – bangunan yang memiliki nilai sejarah tinggi di area taman rekreasi Lido itu ditelantarkan, dibiarkan terbengkalai begitu saja, bahkan sebagian besar telah hancur tidak terawat. Dimana fungsi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata? Mana kepedulian anak bangsa terhadap aset sejarah bangsa? Apakah dengan begitu mudahnya catatan sejarah serta pengorbanan jiwa dan raga para pejuang tanah air kita ini dilupakan?

Selain bangunan peninggalan penjajah kolonial Belanda yang nyaris semuanya hancur dan mirip sarang hantu, danau yang dulu airnya jernih yang dipenuhi berbagai spesies binatang air, kini bagai kubangan lumpur berwarna cokelat dan dipenuhi sampah dan limbah.

Perlu pembaca ketahui, berdasarkan data – data yang saya peroleh dari berbagai sumber, kawasan wisata Danau Lido dibuat pada zaman Belanda sekitar tahun 1898, saat Belanda membangun Jalan Raya Bogor – Sukabumi. Mereka mencari tempat untuk peristirahatan para petinggi pengawas pembangunan jalan dan pemilik perkebunan.

Danau Lido sendiri adalah danau buatan yang sumber airnya berasal dari aliran sungai dan mata air alam yang dibendung. Konon, bendungannya terbuat dari kaca berukuran tebal yang saat ini sudah tertimbun tanah yang berada di Kampung Tambakan. Danau Lido berada di sebuah lembah Cijeruk dan Cigombong. Jika dilihat dari atas, Danau Lido seperti mangkuk di kaki Gunung Gede – Pangrango. Di dekat danau ini juga terdapat air terjun Curug Cikaweni yang mengalirkan air yang sangat dingin di bahu Gunung Gede Pangrango.

Kawasan ini baru dibuka untuk umum pada tahun 1940, setelah Ratu Wilhelmina datang dan beristirahat di Lido pada tahun yang sama. Ketika itu, restoran pertama diresmikan sebagai pelengkap fasilitas kawasan wisata dan juga untuk menjamu Sang Ratu, yang saat ini bernama Oranje Lido Resto.

Sebelah kiri bawah di pinggir Danau Lido terdapat beberapa bangunan Villa atau Cottage yang menyimpan kisah cinta romantis. Cottage tersebut didirikan oleh seorang Belanda bernama Antonius Johanes Ludoficus Maria Zwijsen, seorang Polisi yang ditugaskan oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Namun mirisnya, kini bangunan bersejarah ini nyaris ambruk semua. Selain dimakan usia juga karena sama sekali tidak ada perawatan dari pengelola maupun dinas terkait.

Setelah bebas tugas sebagai polisi, Zwijsen bekerja di Hotel Nederlande di kawasan Gondangdia, Batavia. Saat usahanya berkembang, Zwijsen membeli sebuah hotel di daerah Harmoni dan mengembangkan usahanya dengan mendirikan penginapan di pinggir Danau Lido.

Pada 1935, Zwijsen bertemu seorang putri perwira polisi dari bangsanya yang bertugas di Sukabumi, Catharina anna beemster. Mereka menikah pada 1937. Konon, Cottage ini didedikasikan untuk Anna istri tercintanya. Beberapa tahun lalu Foto – foto keluarga pasangan Zwijsen – Anna sempat tergantung di dinding ruang tunggu Hotel Lido saat ini. Tapi kini entah foto sejarah itu ada dimana.

Penulis : Raden Supriyadi
Cigombong 09 Maret 2021