Pakuan pos – Setelah PGRI melontarkan narasi “Buat Anak Kok Coba-coba” kini sejumlah pihak terkakit pun setuju, anak masuk sekolah saat masih pendemi adalah spekulasi. Berdasarkan pantaun penulis diantara pihak yang meragukan atau tak setuju anak masuk sekolah adalah : Kemen PPPA, penggagas SRA. Kemenkes, pembawa misi kesehatan. KPAI, pembawa misi perlindungan anak. Forum Orangtua Siswa Bandung, pemilik anak. Para guru pelayan anak didik dan pengamat pendidikan sebagai pengawas independent pendidikan.

Bisa dibayangkan misal SMKN 6 Bandung dengan jumlah siswa 2300, bila dilakukan shift pun tetap tak bisa lepas dari kepadatan, kerumunan siswa. Jangan sampai masuk sekolah justru menjadikan sekolah sebagai klaster baru, media pemaparan Covid-19 pada anak didik. Bila saat mudik di hari lebaran ada peningkatan penyebaran wabah. Bisa terjadi saat anak didik “mudik sekolah” di hari belajar, Covid-19 memapar anak sekolah.

Sebagai guru, orangtua siswa, penyambung aspirasi guru dan pemerhati pendidikan penulis tetap berkesimpulan “memudikan” anak ke sekolah saat wabah masih belum selesai adalah spekulasi. Bila orang dewasa disarankan kembali produktif, bekerja dan beraktivitas dengan tetap menggunakan prosedur protokoler kesehatan tidaklah mengapa. Orang dewasa punya tanggung jawab mencarai nafkah dan pemahaman yang baik dalam menjaga kesehatan. Anak didik, tentu tak secerdas orang dewasa. Namanya juga anak, buat anak kok coba-coba!

Disaat wabah belum usai maka rumah tetap sebagai “benteng pertahanan anak”. Ada pepatah esktrim yang mengatakan, “Bila sebuah bangsa generasi mudanya binasa, siapa yang akan melanjutkan?” Nilai anak adalah nilai masa depan bangsa. Buat anak sebagai calon penerus bangsa jangan spekulasi. Harus hati-hati dan dihitung cermat berdasarkan data keamanan yang tidak debatable. Anak bukan objek percobaan melainkan subjek yang harus dilindungi.

Sebagai solusi dan bahan kajian adalah perlu dipertimbangkan adanya kurikulum darurat. E modul, PJJ adaptif dan sejumlah pembelajaran virtual yang fleksibel bisa jadi pertimbangan. Kemdikbud bisa berembug dengan ekosistem pendidikan. Kurikulum itu sebuah sistem pendidikan yang dijalankan sesuai tuntutan keadaan dan tuntutan masa depan. Gagal menerapakan kurikulum dapat dipastikan akan melahirkan ketidaknyambungan tujuan pendidikan dengan kenyataan di lapangan.

Sebagai bahan pertimbang, faktanya sekolah itu setidaknya terbagi tiga. Pertama sekolah besar terutama di perkotaan. Kedua sekolah sedang, jumlah siswa normal dan ketiga sekolah kecil, jumlah siswa kurang. Penerapan new normal di sekolah __mungkin__ hanya cocok di sejumlah sekolah kecil di pinggiran desa yang tak ada wabah. Kota besar dengan siswa besar, tenaga pendidik kurang, plus fasilitas terbatas akan sangat berisiko menjadi klaster.

Bila sekolah kecil dengan siswa kurang di daerah pedesaan atau tertinggal cenderung aman. Anak didik hanya melintasi pinggiran sawah, hutan dan sungai. Namun di sekolah kota yang besar anak didik melintasi ruang publik, keramaian dan fasilitas menggoda lainnya yang rawan menempel virus corona bekas orang lain. Walau pun anak di duga lebih imun dari virus corona, faktanya di sejumlah negara anak didik mulai menjadi masalah baru sebagai korban.

Kemdikbud pertimbangkan dengan cermat, cerdas, hati-hati dan tepat. Hak pendidikan anak tidak lebih utama dibanding hak sehat dan hak keselamatan anak. Kalau mau spekulasi, masuk sekolah paling cepat bulan Agustus awal. Itu pun setelah dipastikan mulai bulan Juni ini wabah terus menghilang dan tidak ada lagi yang terpapar. Kita tidak boleh parno dan berhati hati berlebihan, kecuali dengan nasib anak didik. Mengapa? Karena mereka adalah harta yang paling berharga di negeri ini.

Oleh : Dudung Nurullah Koswara
Guru SMA dan Ketua PB PGRI